MENJELAJAHI KEARIFAN LOKAL LERENG MERAPI
Sudah terlambat untuk kaget dan mengagumi bahwa suatu Desa yang jauh dari kehidupan kota, memiliki tingkat kehidupan yang dapat dikatakan relative Lebih baik.
Bagi banyak orang yang terbiasa hidup dikota-kota besar, hidup secara individu adalah suatu hal yang biasa. Orang-orang kota kebanyakan menghabiskan waktu dengan orang2 yang kita kenal baik saja, dikantor, disekolah, kampus dan komunitas.
Berbeda dengan kehidupan desa di lereng gunung merapi. Saat kami datang, kami serasa disambut dengan baik. Senyum dan Ucapan salam tidak pernah berhenti saya dengar. Sungguh benar-benar rindu untuk disambut secara sederhana seperti ini. Seakan-akan kami adalah bagian dari mereka juga.
Ngandong
Tanggal 17-18 juni kemaren, saya dan rombongan teman-teman dari Fakultas Arsitektur dan Desain ( arsitektur) dan Fakultas Ilmu Komputer (IKOM) UNIKA SOEGIJAPRANATA mengunjungi suatu kelurahan di lereng Gunung merapi. Kami terbagi dalam kelompok dan saya bersama team mendapatkan desa paling atas dari kelompok kami yang lain, yaitu dusun Ngandong yang berjarak sekitar 6,8 Km dari puncak merapi. Kami disambut oleh keluarga bapak Surat dan Bapak . . . . .
Sejarah singkat tentang dusun ngandong. Menurut cerita penduduk sekitar, dusun ini disebut dusun ngandong karena pada jaman kerajaan majapahit, dusun ini sering dilewati andong ( kereta kuda ). Yang datang dari Merapi menuju ke keraton.
Dusun ngandong sebenarnya bukan dusun teratas yang ada di kaki gunung merapi tersebut. Masi ada desa lagi yang berada di ats merapi namun karena Erupsi desa tersebut telah hilang dan sudah tidak layak huni.
Bagi masyarakat kawasan lereng gunung merapi, Gunung merapi memiliki makna tersendiri. Meletusnya gunung merapi ini merupakan berkah yang besar bagi mereka. Mereka tidak merasa bahwa merapi merupakan bencana. Bagi mereka Merapi merupakan suatu Anugerah Kehidupan dari Tuhan yang maha Esa.
Tentang bencana tersebut, masyarakat gunung merapi menanggapinya dengan selalu berpikir positive dan bersyukur. Masyarakat lereng merapi percaya bahwa merapi tidak akan menghanguskan mereka jika mereka selalu berbuat baik kepada Sesama dan tidak pernah berpikir negative. Terbukti bahwa Desa ngandong yang memiliki tingkat kerukunan yang tinggi tidak rusak oleh panas debu dari gunung merapi. Itulah spirit yang mereka pegang sebagai orang-orang yang memiliki ikatan kuat akan gunung merapi.
Arsitektur Masyarakat Merapi
Berbicara tentang Arsitektur Merapi, tidak lepas dari kehidupan Arsitektur masyarakat Jawa pada umumnya. Namun Arsitektur masyarakat Sekitar merapi memiliki cirri khas yang unik yang membedakan arsitektur masyarakat jawa di Jogja ataupun Daerah sekitar solo. Meletusnya gunung merapi membuat dikawasan tersebut memiliki kekayaan batu yang melimpah. Penggunaan batu sebagai penggunaan dinding rumah cukup banyak ditemui di sekitar kawasan tersebut. Mereka membuat dinding dari batu dengan alasan yang sangat sederhana. Karena Penggunaan batu tidak cepat rusak dari pada dinding Gedhek ( anyaman bambu ) dan perawatannya sangat gampang dan murah, dibandingkan dinding gedhek.
Jika dinding Gedhek tersebut memiliki tingkat kerusakan dan perawatan yang cukup tinggi, maka dinding batu tidak. Namun jika membangun rumah baru, harga awal yang dikeluarkan sama saja antara dinding batu dan gedhek. Oleh karena itu masyarakat merapi sudah mulai beralih dengan penggunaan dinding material massif yaitu BAtu.
Secara Filosofi, dalam membangun rumah tinggal seorang jawa di lereng gunung merapi memiliki aturan-aturan dan pantangan tersendiri. Kita tahu bahwa arsitektur jawa memiliki 4 tiang penopang utama yang disebut Sokkoguru. Dalam pembuatan tiang pertama sokoguru, memiliki aturan-aturan tersendiri. Dalam menentukan Tinggi soko guru ditentukan oleh panjang telapak kaki si pemilik rumah tersebut. Jadi, semakin panjang ukuran telapak kaki si pemilik rumah, maka semakin tinggi dan kelihatan semakin gagah rumah tersebut. Sebaliknya semkin kecil telapak kaki pemilik rumah, maka semakin pendek pula rumahnya. Semua ditergantung oleh pemilik rumah.
Dalam membangun rumah masyarakat merapi melakukan syukuran dan pemberkatan sebagai bentuk doa bersama. Karena mayoritas warga adalah beragama Katolik maka masyarakat sekitar melakukan syukuran secara katolik. Namun pada jaman dahulu, masyarakat merapi melakukan ritual-ritual seperti puasa dan pantang yang dilakukan oleh si tukang atau si pemilik rumah. Mereka juga menghindari hari Nas , yaitu hari dimana salah satu anggota keluarga mereka yang meninggal. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses pembangunan tersebut.
Dari kehidupan masyarakat merapi, kami menemukan nilai-nilai kearifan lokal yang membuat kami kagum. Point-poinnya adalah sebagai berikut :
- 1. Masyarakat Merapi sangat mensyukuri apa yang ada pada diri mereka
- 2. Kesederhanaan dan kepedulian akan alam dan sesama merupakan salah satu budaya pelestarian lingkungan. Karena dengan kesederhanaan, manusia lebih bisa menjaga emosional dan tidak rakus dalam memanfaatkan hasil alam.
- 3. Bencana Erupsi merupakan bentuk kemarahan Alam karena kerasukan dan ketidakhormatan manusia terhadap Alam ciptaan yang maha kuasa
- 4. Merapi bukanlah benda mati, namun sesuatu yang hidup dan perlu untuk dicintai. Merapi merupakan ciptaan Tuhan yang patut untuk dijaga dan dihidupi. Sehingga manusia juga akan dihidupi oleh merapi.
Komentar
Posting Komentar